Sunday, February 7, 2016

Memulihkan Martabat Guru

Abu Khaulah Zainal Abidin
Melihat dunia pendidikan hari ini seperti melihat sebuah komputer keluaran tahun pertama yang dipaksa mengolah data untuk kebutuhan gaya hidup zaman sekarang sementara software-nya masih sama jadul dengan komputernya. Lebih parah lagi ketika software-nya diperbaharui sementara hardware-nya sudah tidak lagi mendukung. Komputer bukan hanya tidak bekerja optimal dan hasilnya mengecewakan, bahkan macet!
Seperti itulah pendidikan kita hari ini. Gonta-ganti kurikulum dengan macam-macam ramuan -yang katanya mujarab- sudah sering disajikan. Macam-macam metode, mulai dari gaya pendidikan sampai cara pembelajaran, sudah  diperagakan. Hasilnya? Produk (-tetap-) gagal.  Ibarat bayi, lahir dalam keadaan cacat. Dari sisi skill-intelektual sulit untuk bersaing, dari sisi akhlaq-kepribadian sulit dibanggakan. Bahkan tidak sedikit yang gagal sebelum jadi. Ibarat bayi, gugur di dalam kandungan.  
Apa lagi yang salah kalau bukan hardware-nya. Ya ,apa lagi yang harus di-upgrade setelah itu kalau bukan sekolah atau gurunya. Maka lahirlah “Boarding School, Home Schooling, Sekolah Terpadu, Sekolah Unggulan, atau SBI sebagai bentuk-bentuk inovasi -atau kamuflase?- sekolah di dalam menghadapi gempuran peradaban sekaligus menjawab kekecewaan masyarakat. Tinggallah sekarang, apa jawaban guru?

Guru Hari Ini:
Tentu saja sekarang guru tidak bisa menjawab. Guru hanya bisa dituntut. Guru harus cerdas, trampil, sabar, dan menjadi teladan. Guru harus sarjana, guru harus rajin mengasah diri, guru harus sering mengikuti seminar, dan guru harus ini-harus itu.
Lantas guru pun  balas menuntut,  hanya dengan, “Naikkan gaji. Tingkatkan kesejahteraan!”  Ya, tuntutan mereka tidak lebih dari itu, sebatas kesadaran struktural-nya. Herannya banyak orang percaya bahwa memang itu solusinya. Guru, yang sejak awal dicetak sekedar untuk jadi tenaga pengajar atau operator kurikulum, tak pernah berpikir lain. Terlebih lagi karena guru telah dibius sejak lama oleh julukan yang memabukkan; “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, telah dibuai oleh berbagai sanjungan meski hanya basa-basi. Guru juga telah dijinakkan -cukup dengan- berbagai fasilitas kelas ekonomi”.
Mental “buruh” yang sudah menjadi sifat bawaan dari kebanyakan guru, sejalan dengan sejarah kemunculan sekolah, ini semakin menjadi-jadi di dalam sistim pendidikan progresif. Ya, pendidikan progresif -“berpusat pada murid”- , kreasi John Dewey, yang jadi asupan hampir di seluruh sekolah moderen dewasa ini -ada yang menelannya mentah-mentah, ada yang setengah matang, dan ada yang sesudah diolah bahkan dibumbui dengan macam-macam pelezat rasa-  telah membuat beban di pundak guru terasa semakin berat, sementara pijakan kakinya semakin rapuh. Kombinasi antara teori pendidikan dan tekanan psikologis ini membuat guru benar-benar hampir mustahil mengemban tugasnya ; harus mampu mengarahkan murid tetapi dilarang memberikan indoktrinasi, harus mampu mendisiplinkan tetapi dilarang memberikan sanksi.
Ya, guru sekarang sudah tidak lagi berani dan bisa menghukum apalagi memukul muridnya.  Guru sekarang sulit berkembang untuk menjadi figur yang disegani. Bukan saja karena masyarakat mendudukkannya hanya setingkat lebih terhormat dari “baby sitter”, tetapi juga karena bentuk dan sistim pendidikan yang ada ini telah membuatnya kehilangan daya. Maka apa yang bisa diharapkan dari  “hardware” yang  mengidap inferior complex dan dari luar terus dibuat lemah. Itulah guru hari ini.
Ketika Guru Menjawab.
Guru bisa menjawab hanya apabila kedudukannya di tengah masyarakat sebanding dengan tugas dan tanggung jawabnya. Guru mampu mengemban tugas dan tanggung jawab yang berat hanya apabila memiliki tulang punggung yang kuat, kemudian berdiri di atas pijakan yang kokoh dengan kuda-kuda yang jejeg.
Langkah pertamanya; guru harus menyadari betul akan kemuliaan tugas dan tanggung jawabnya. Kemudian guru harus berupaya  menghilangkan “penyakit bawaan” yang telah mendarah daging di dalam tubuhnya;  ambisi mengumpulkan pengikut dan popularitas,  kecanduan dipuji dan disanjung,  serta mudah tertipu  bujukan dunia berupa harta dan kehormatan semu.
Lagi-lagi ini adalah tuntutan juga yang  dialamatkan kepada guru. Tetapi kali ini berbeda dengan jenis tuntutan semula. Jenis semula (guru harus sarjana, harus ikut seminar, harus ini itu, dan semacamnya), untuk memuaskan para pengguna jasa pengajar dan meningkatkan eksploitasi terhadap guru. Sedangkan yang sekarang, di dalam rangka mengokohkan kedudukan guru dan mengangkat martabatnya.
Betapa tidak, tugas dan tanggung jawab guru itu ibarat nabi yang diutus Allah bagi manusia. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu –rahimahullahu ta’alaa– {“Nidaa’ ilaal Murobiyyin wal Murobiyyaat” (Panggilan bagi Para Pendidik , Lelaki maupun Wanita)}:
Kedudukan guru di tengah masyarakat itu bagaikan para Nabi dan Rasul yang diutus Allah bagi manusia untuk memberikan petunjuk dan bimbingan, mengajari, dan mengenalkan Tuhan Yang menciptakan mereka.”
Dan supaya permisalan di atas tidak lagi-lagi hanya dianggap sekedar sanjungan, juga supaya tidak lagi-lagi membuat para guru hanya tersanjung atau terharu sambil berlinang air mata bangga, hendaknya para guru pun memperhatikan kenyataan-kenyataan di balik permisalan di atas.
Kenyataan pertama: Ada di antara nabi dan rasul yang berda’wah bahkan sampai ratusan tahun lamanya dengan mendapatkan hanya beberapa pengikut. Diceritakan di dalam hadits Ibnu Abbas; ada di antara mereka yang dibangkitkan di hari kiamat dengan hanya  seorang pengikut, bahkan ada yang tanpa seorang pun pengikut. Namun demikian tetaplah mereka dianggap sebagai seorang nabi. Ini juga artinya, sebagaimana yang telah dijelaskan Asy-Syaikh Shaalih Al fauzan-hafidzahullahu ta’alaa– di dalam Syarh Masaail Al Jaahiliyyah, bahwa kebenaran itu tidak diukur dari sedikit-banyaknya pengikut.
Demikian pulalah hendaknya seorang guru. Ia harus menyadari bahwa pekerjaannya membutuhkan waktu yang panjang, yang adakalanya hasilnya pun tak sempat ia lihat.  Ia juga tidak boleh terpengaruh oleh sedikit-banyaknya murid, silau dengan kemegahan jumlah sehingga menempuh segala cara yang merendahkan diri sendiri demi mendapatkannya. Ia juga harus siap mencurahkan tenaga dan pikirannya walau hanya untuk segelintir murid.
Bahkan di dalam keadaan tidak memiliki seorang murid pun, guru tetaplah guru. Sungguh berbeda halnya dengan tenaga pengajar. Guru seperti ini tidak akan pernah kehilangan lahan untuk mengajar. Ibarat pejuang sejati yang tidak pernah kehilangan medan. Paling tidak, ia tetap melaksanakan misinya,  melestarikan nilai-nilai kebenaran, pada diri dan keluarganya. Ia tidak pernah bergantung kepada kursi atau meja untuk mengajar, tidak kepada papan tulis, tidak ruang kelas, tidak juga sebuah sekolah.
Kenyataan kedua: Para nabi dan rasul selalu berhadapan dengan manusia yang senantiasa bersiap-siap menyambutnya dengan anggapan dan tuduhan bahwa para penyeru kebenaran ini tidak lain hanyalah pencari upah, pencari materi, pencari dunia. Perhatikan bagaimana mereka (para nabi dan rasul) di dalam berbagai kesempatan menyanggah anggapan dan tuduhan tersebut, sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
 ( “Dan tidaklah aku mengharapkan balasan (upah) sedikitpun dari kalian atasnya. Balasan bagiku tidak lain dari  Tuhan semesta alam.”) (Asy-Syu’araa: 109, 127, 145, 164, 180)
Bahkan di dalam kesempatan lain Allah sendiri yang memerintahkan untuk mengucapkannya:
قُلْ مَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ
 (“Katakanlah: Balasan yang aku harapkan dari kalian adalah untuk kalian sendiri. Sedangkan upahku hanyalah dari Allah...”) (Saba’: 47)
Maksudnya adalah bahwa Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– tidak mengharapkan kecuali hanya agar orang-orang beriman kepada Allah, sebagai balasan dari upayanya. Sedangkan balasan bagi dirinya sendiri,  tidak lain ia harapkan dari Allah semata.
Ayat-ayat di atas bukan semata menceritakan keikhlasan para nabi Allah yang tentu sudah kita ma’lumi. Ayat-ayat di atas menerangkan kepada kita  bahwa kenyataan semacam inilah di antara yang pertama-tama akan dihadapi oleh setiap penyeru kebenaran. Dan seperti ini pulalah yang  akan dihadapi oleh para guru.
Karenanya, para guru pun harus membekali diri dengan sikap yang semisal, ucapan maupun perbuatan, “Kami tidak cari makan dari kalian. Kami hanya mengharapkan pahala dari Allah.” Setidaknya, para guru harus menutup peluang agar tidak dituduh sebagaimana yang pernah dialami  para nabi.
Bisa hidup sebagai guru saja sudah harus disyukuri, apalagi jika muridnya jadi sebagaimana yang diharapkan. Itu sajalah yang harus ada di benak guru. Biarkanlah ucapan, “Guru juga manusia, memiliki keluarga yang butuh dinafkahi.” ini dilontarkan oleh orang lain, tetapi jangan keluar dari mulut seorang guru. Guru tidak boleh membiarkan manusia berpeluang mencibirinya. Karena kebanyakan manusia tidak mengerti makna dan bentuk keikhlasan, serta  senantiasa mengukur dan menilai orang lain dengan kadar dirinya. Yang ikhlas (para Nabi dan Rasul Allah) saja dituduh komersil, maka bagaimana pula jadinya jika guru sudah berbicara soal perutnya.
Ya, manakala guru telah terbebas dari “penyakit bawaan” ini, gangguan eksternal bukan lagi hal yang berarti baginya. Terbuka ruang baginya untuk menentukan sendiri posisinya di tengah masyarakat tanpa harus melakukan tindakan-tindakan politis.  Kepeduliannya kepada kesusahan orang lain, semangatnya mendidik umat, serta sifat pemaaf dan rahimnya tidak akan lagi bisa dieksploitir oleh para “impresario” yang pura-pura punya kepedulian terhadap masalah pendidikan. Terbuka peluang baginya untuk mendesain kurikulum, bahkan menentukan sistim dan prosedur pendidikan, bukan sekedar menjadi operator atau buruh industri yang bernama sekolah. Terbuka kesempatan baginya untuk benar-benar menjadi pendidik yang berwibawa, bukan sekedar pengasuh anak-anak majikan.
Ya, jika kesehatan guru telah pulih, jika “hardware” yang satu ini telah di-upgrade,  pulih pulalah martabatnya, kemudian terbukalah jalan baginya untuk tampil ke depan dan menjawab pertanyaan dengan percaya diri.

0 comments:

Post a Comment